FARA PAVLOV (riecha)
Senin, 14 September 2015
Jumat, 11 April 2014
arti beriman kepada Malaikat
Malaikat
termasuk alam ghaib, yang Allah –‘azza wa jalla- menciptakan mereka dari
cahaya, mereka mentaati semua perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:
( لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ ) التحريم/6 .
“.....Yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim: 6)
Beriman
kepada malaikat meliputi empat hal:
1.
Meyakini dengan sepenuhnya bahwa mereka itu ada, dan termasuk makhluk Allah
yang tunduk kepada-Nya, Allah berfirman:
(…عباد مكرمون .لا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ
يَعْمَلُونَ) الأنبياء/26 :27
“…
Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka
itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan
perintah-perintah-Nya”. (QS. Al Anbiya’: 26-27)
( لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ) التحريم/6
“… yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim: 6)
(ومن عنده لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا
يَسْتَحْسِرُونَ . يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ)
الأنبياء/19 :20 .
“Dan
malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk
menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan
siang tiada henti-hentinya”. (QS. Al Anbiya’: 20)
2.
Beriman dengan nama-nama malaikat yang kita mengetahui namanya, seperti;
Jibril, Mikail, Israfil, Malik, Ridhwan, dan lain-lain –‘alaihimus salam-.
3.
Beriman dengan sifat-sifat mereka yang kita mengetahuinya, seperti; kita
mengetahui sifat-sifat dari malaikat Jibril –‘alaihis salam- dari sunnah
nabawiyah, bahwa beliau memiliki 600 sayap dan telah memenuhi langit.
4.
Beriman dengan perbuatan mereka yang kita mengetahuinya, Jibril –‘alaihis
salam- tugasnya menyampaikan wahyu yang menjadi penyejuk hati, Israfil tugasnya
meniup sangkakala, Mikail bertugas mengatur hujan, Malik bertugas menjaga
Neraka, dan lain-lain.
Yang
terpenting, yang menjadi kewajiban kita untuk mengimaninya adalah bahwa setiap
orang bersamanya dua malaikat yang bertugas menulis semua perbuatan orang
tersebut:
( إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ
الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ )
ق/17-18
“
(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di
sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”.
(QS. Qaff: 17-18)
Maka,
jagalah diri anda wahai muslim, akan pencatatan kedua malaikat tersebut yang
akan terungkap keburukan anda pada hari kiamat, semua yang anda ucapkan akan
tersimpan dengan baik. Dan jika hari kiamat tiba maka catatan amal setiap orang
akan dikeluarkan,
( ونخرج له يوم القيامة كتابا يلقاه منشورا .
اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ
حَسِيباً ) الإسراء/13 :14
“Dan
Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.
Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab
terhadapmu." (QS. Al Isra’: 13-14)
Semoga
Allah menutup aib kita, dan mengampuninya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar
dan Maha Mengijabah setiap do’a.
Baca:
A’lam Sunnah al Mansyurah: 86, Majmu Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin : 3/160. Untuk
pembahasan lebih lanjut, silahkan anda merujuk pada soal: 843 dan 14610.
Syeikh Muhammad Shaleh al Munajjid
Selasa, 01 April 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
bab ini akan dikaji tentang Landasan-landasan kurikulum. Melalui kajian ini
dapat diketahui apa saja yang menjadi landasan dalam terbentuknya kurikulum.
Ada tiga bagian yang akan di bahas dalam bab ini, yakni landasan kurikulum
sebagai acuan dalam menetapkan komponen kurikulum, filosofis sebagai landasan
kurikulum, psikologi sebagai landasan kurikulum.
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan
Pengembangan Kurilukum.
Kurikulum
untuk lembaga pendidikan tertentu sudah ada. Artinya, telah disusun sebelumnya
oleh para perencana kurikulum. Tugas para pelaksana pendidikan di sekolah
seperti guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya tinggal
melaksanakan, membina, dan dalam batas-batas tertentu mengembangkannya.
Melaksanakan kurikulum dimaksudkan mentransformasikan program pendidikan kepada
anak didik melalui proses pengajaran. Dengan kata lain mempengaruhi anak didik
dengan tujuan dan materi yang telah diprogramkan dalam kurikulum. Membina
kurikulum dimaksudkan menjaga dan mempertahankan agar pelaksanaan kurikulum
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum potensial,
sehingga tidak terjadi kesenjangan. Sebagai contoh dapat dilukiskan sebagai
berikut: dalam GBPP IPA kelas III SMA terdapat 15 pokok bahasan yang harus
disampaikan kepada anak didik (kurikulum potensial). Namun dalam praktek karena
beberapa alasan, guru hanya dapat menyelesaikan 10 pokok bahasan (kurikulum
aktual).
Dalam contoh di atas terdapat kesenjangan lima
pokok bahasan. Ini berarti pembinaan kurikulum tidak optimal sebab guru tidak
dapat memenuhi atau menyelesaikan pokok bahasan sebagaimana harusnya.
Pengembangan kurikulum adalah tahap lanjutan dari
pembinaan kurikulum, yakni upaya meningkatakan dalam bentuk nilai tambah dari
apa yang telah dilaksanakan sesuai dengan kurikulum potensial. Upaya ini bisa
dilakukan apabila diadakan penilaian terhadap apa yang telah dilaksanakan.
Dengan dilakukan penilaian dapat diketahui kekurangan dalam pelaksanaan dan
pembinaan kurikulum. Kekurangan tersebut dapat mungkin diatasi, dicarikan upaya
lain yang lebih baik, sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal. Lebih dari
itu hasil yang telah diperoleh dari pelaksanaan dan pembinaan kurikulum, dari
tahun ke tahun selalu diupayakan meningkat sehingga ada nilai tambah, misalnya
proses pelaksanaan lebih efektif, lebih efisien, hasilnya juga lebih produktif,
lebih berdaya guna dan lain-lain. Kegiatan ini termasuk pengembangan kurikulum.[1]
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan
kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunana nasional, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang
masing-masing satuan pendidikan (Bab IX, Ps. 37). Sejalan dengan ketentuan
tersebut, perlu ditambahkan bahwa pendidikan nasional berakar pada kebudayaan
nasional, dan pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945. Berdasarkan ketentuan dan konsep-konsep tersebut, pengembangan kurikulum
agar berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang
dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada
gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum satuan
pendidikan.
2. Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam
masyarakat kita.
3. Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada
karakteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi
lingkungan manuiawi (interpersonal), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta
lingkungan alam (geoekologis).
5. Kebutuhan pembangunan, yang mencakup kebutuhan
pembangunan di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hankam, dan
sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.
Keenam faktor tersebut saling kait-mengait antara
satu dengan yang lainnya.[2]
Ada tiga landasan pokok dalam melaksanakan,
membina, dan mengembangkan kurikulum. ketiga landasan tersebut adalah landasan
filosofis, sosial budaya, dan psikologis. Tetapi, disini penulis hanya
membatasi penjelasan filosofis dan psikologis saja.
B.
Landasan
Filosofis Perkembangan Kurikulum
Dalam mengambil keputusan mengenai kurikulum, pengembang kurikulum harus memperhatikan falsafah,
baik falsafah bangsa, falsafah lembaga pendidikan dan falsafah pendidik.[3] Cara
berfikir radikal
merupakan pengertian umum dalam filsafat, selain itu juga berpikir
secara menyeluruh dan mendalam atau berfikir yang mengupas sesuatu
dengan sedalam-dalamnya. Demikian hal tersebut dipaparkan socrates.
Landasan filosofis dimaksudkan, pentingnya
filsafat dalam melaksanakan, membina dan mengembangkan kurikulum di sekolah.
Istilah filsafat mengandung banyak pengertian. Dalam pengertian umum filsafat
adalah cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, suatu cara berfikir yang
mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.
Sifat berfikir menyeluruh dan mendasar tentang
sesuatu kebenaran merupakan ciri filsafat. Bidang telaah filsafat pada awal
mulanya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap persoalan ini
menelusuri hakikat manusia, sehingga muncul beberapa asumsi dasar tentang
manusia. Misalnya, manusia adalah makhluk religi, makhluk sosial. Manusia
adalah homo sapiens, homo symbolicium, homo economices dan lain-lain.
Tahap berikutnya filsafat mempersoalkan tentang
hidup dan eksistensi manusia. Suatu kejadian tentang makna hidup manusia,
pandangan hidup manusia, sebagai makhluk religi, makhluk sosial, makhluk yang
berbudaya dan lain-lain.
Dari dua telaah ini filsafat mencoba menelaah
tentang tiga pokok persoalan, yakni hakikat benar-salah (logika), hakikat
baik-buruk (etika) dan hakikat indah-jelek (estetika). Pandangan hidup manusia
mencakup ketiga aspek tersebut (logika, etika, estetika). Hakikat benar-salah
adalah telaahan bidang ilmu. Hakikat baik-buruk telaahan bidang nilai
(nilai religi dan sosial). Sedangkan indah-jelek telaahan bidang seni.
Dalam hubungannya dengan kurikulum ketiga pandangan tersebut (ilmu, nilai,
seni) sangat diperlukan, terutama dalam menetapkan arah dan tujuan pendidikan.
Artinya, ke mana pendidikan akan di bawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan
mengenai pandangan hidup manusia, atau tentang hidup dan eksistensi manusia.
Sudah barang tentu setiap negara, bangsa di dunia ini telah memiliki pandangan
hidup masing-masing sebagai acuan dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Bagi kita (indonesia), pancasila telah menjadi pandangan dan cara
hidup bangsa. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dengan 36
butir sebagai satu kesatuan jutuh dalam kondisi yang selaras, serasi dan
seimbang menjadi acuan dasar dalam kehidupan manusia Indonesia.
Pendidikan, sebagai upaya dasar untuk membina
manusia tidak bisa melepaskan diri dari pandangan dan cara hidup manusia
Indonesia, yakni manusia pancasila. Ini berarti, pendidikan harus mampu membawa
anak didik menjadi manusia pancasila. Dengan kata lain, landasan, arah, dan
tujuan pendidikan adalah pancasila. Hal ini telah diwujudkan dalam rumusan dan
tujuan pendidikan nasional seperti dapat dibaca dalam GBHN 1988.
Pendidikan nasional berdsarkan pancasila bertujuan
meningkatkan kualitas manusia indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil, serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu
menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat
kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial.
Dalam rumusan tujuan tersebut, tersirat
nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Dalam kaitannya dengan pandangan
hidup manusia, seperti dijelaskan sebelumnya, ada tiga hal yang cukup mendasar
yakni iman, budi pekerti, ilmu. Dalam konteks yang lebih
luas adalah moral, ilmu dan amal (perwujudan dari iman dan
ilmu).
Implikasi bagi para pelaksana pendidikan, terutama
bagi guru, kepala sekolah dalam melaksanakan, membina dan mengembangkan
kurikulum di sekolah, nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan tujuan
pendidikan di atas harus menjadi acuan yang mendasar, dalam mewujudkan praktek
pendidikan di sekolah, sehingga menghasilkan anak didik (siswa) menjadi manusia
yang beriman, berilmu dan beramal dalam kondisi serasi, selaras dan seimbang.
Di sinilah pentingnya filsafat sebagai pandangan hidup manusia dalam
hubungannya dengan pendidikan dan pengajaran di sekolah.[4]
Dalam
hal ini filsafat sebagai landasan kurikulum adalah supaya dalam pengembangan
kurikulum memperoleh hasil secara mendalam, analitis, melaksanakan, membina dan
mengambangkan kurikulum baik dalam bentuk kurikulum sebagai rencana(tertulis),
terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan disekolah/ madrasah.
Dalam kaitannya dengan kurikulum filsafat memiliki peranan penting
dalam pendidikan. Maka dalam hal ini juga terdapat filsafat pendidikan yang bisa didefinisikan sebagai kaidah filosofis dalam
bidang pendidikan yang menggambarkan aspek – aspek pelaksanaan falsafah umum
dan menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip – prinsip dan kepercayaan yang
menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan – persoalan
pendidikan secara praktis.[5] Tentunya persoalan persoalan dalam pendidikan harus dipecahkan.
Dalam hal ini terdapat manfaat filsafat bagi pendidikan, yakni :
1. Menentukan
arah akan dibawa kemana siswa melalui pendidikan. di madrasah/sekolah, yakni
kearah yang di cita-citakan oleh siswa yang berdampak pada agama, nusa dan
bangsa.
2. Adanya
tujuan dari pendidikan yang diwarnai filsafat yang dianut, kita harus mendapat
gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai.
3. Memberikan
kesatuan kepada segala usaha pendididikan
Tiap negara
mempunyai suatu falsafah atau pandangan pokok mengenai pendidikan. Kurikulum
harus memperhatikannya dalam dalam pengembangannya agar dapat memelihara
kebutuhan nasional.[6] Dalam
ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Halauan Negara,
dikemukakan bahwa “ pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah serta
berlangsung seumur hidup, oleh karenanya ,agar pendidikan dapat dimiliki oleh
seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu, maka pendidikan
tersebut merupakan tanggungjawab keluarga, masyarakat dan pemerintah.[7]
Setiap negara
tentu mempunyai filsafat yang berbeda. Artinya landasan filosofis dan tujuan
pendidikannya juga berbeda. Di Indonesia, landasan filosofis pengembangan
sistem pendidikan nasional secara formal adalah Pancasila
Implikasinya bagi pengembang
kurikulum adalah :
1. Nilai-nilai
pancasila harus dipelajari secara mendalam dan komprehensif sesuai dengan sifat
kajian filsafat, baik dari segi ontologi, epistemologi da aksiologi.
2. Kelima
sila tersebut berisi nilai-nilai moal yang luhur sebagai dasar dan sumber dalam
merumuskan tujuan pendidikan pada setiap tingkatan memilih dan mengembangkan
isi/bahan kurikulum ,stategi pembelajaran .media pembelajaran dan sistem
evaluasi.[8]
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau
cita-cita masyarakat. Berdasarkan cita-cita tersebut terdapat landasan, mau
dibawa kemana pendidikan anak. Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang
ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, filsafat merupakan
pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk
merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta perangkat
pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh
dua hal yang pokok, yakni (1) cita-cita masyarakat, dan (2) kebutuhan peserta
didik yang yang hidup di masyarakat.
Filsafat pendidikan sebagai suatu pandangan hidup
bukan menjadi hiasan lidah belaka, melainkan harus meresapi tingkah laku semua
anggota masyarakat. Nilai-nilai filsafat pendidikan harus dilaksanakan dalam
perilaku sehari-hari. Hal ini menunjukkan pentingnya filsafat pendidikan
sebagai landasan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Filsafat pendidikan sebagai sumber tujuan. Secara
sederhana dapat ditafsirkan bahwa filsafat pendidikan adalah hal yang diyakini
dan diharapkan oleh seseorang. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau
perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam filsafat pendidikan terkandung
cita-cita tentang model manusia yang diharapkan sesuai dengan nilai-nilai yang
disetujui oleh individu dan masyarakat. Karena itu, filsafat pendidikan harus
dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum dan objektif. Hopkin dalam
bukunya Interaction, The Democratic Process, mengemukakan kriteria,
antara lain:
1. Kejelasan, filsafat/keyakinan harus jelas dan
tidak boleh meragukan.
2. Konsisten dengan kenyataan, berdasarkan
penyelidikan yang akurat.
3. Konsisten dengan pengalaman, yang sesuai dengan
kehidupan individu.[9]
C.
Psikologis
Sebagai Landasan Pengembangan Kurikulum
Psikologi
merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan terutama kaitannya dalam
pengembangan kurikulum.
Hal-Hal Yang Perlu
diperhatikan Dalam Pengembangan:
a. Kurikulum hendaknya
disusun dengan mempertimbangkan dan memperhatikan tingkat pertumbuhan,
perkembangan dan kematangan siswa. Kurikulum tersebut haruslah cocok dan
serasi, untuk memberikan kesempatan pada siswa untuk tumbuh dan berkembang
secara seimbang, harmonis dan menyeluruh, baik jasmani maupun rohani.
b. Pada dasarnya
,kurikulum disusun untuk memberikan kepuasan atas berbagai kebutuhan siswa.
Oleh karena itu penyunan kurikulum sebaiknya didasarkan atas kebutuhan yang di
rasakan para siswa tersebut. Kurikulum yang berorentasi pada kebutuhan para
siswa atau remaja, biasa disebut “child centerd curriculum” berdasarkan
kebutuhan, disusun suatu program yang relevan. Bahkan kebutuhan tersebut pada
hakikatnya merupakan salah satu sumber dari tujuan dan motivasi kurikuler.
Oleh karena mempunyai makna yang besar terhadap keberhasilan
belajar seseorang, maka faktor minat selayaknya menjadi pertimbangan pula dalam
penyusunan kurikulum. Karena itu, pada kurikulum modern biasanya dikembangkan
pendidikan berdasarkan minta para anak didik, yang disebut “special interest
education”, selain pendidikan umum atau general education. Dalam
kerangka ini pula, dalam kurikulum disediakan sejumlah mata pelajaran atau
bidang studi yang bersifat pilihan (selektif).
Pendidikan
berkenaan dengan perilaku manusia sebab melalui pendidikan diharapkan adanya
perubahan pribadi menuju kedewasaan, baik fisik, mental/intelektual, moral
maupun sosial. Kurikulum sebagai program pendidikan sudah pasti berkenaan pula
dengan seleksi dan organisasi bahan yang secara ampuh dapat mengubah perilaku
manusia di atas. Namun harus diingat pula bahwa perubahan perilaku pada manusia
tidak seluruhnya sebagai akibat kematangan dirinya dan faktor lingkungan yang
membentuknya di luar program pendidikan yang diberikan di sekolah. Ada beberapa ciri tingkah laku
yang diperoleh sebagai hasil pendidikan ataupun hasil belajar, yakni (a)
terbentuknya tingkah laku baru berupa kemampuan aktual dan kemampuan potensial,
(b) kemampuan baru berlaku dalam waktu yang relatif lama dan (c) kemampuan baru
itu diperoleh melalui usaha. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia. Kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikan untuk
mengubah perilaku manusia. Oleh sebab itu dalam mengembangkan kurikulum harus
dilandasi oleh psikologi sebagai acuan dalam menentukan apa dan bagaimana
perilaku tersebut harus dikembangkan. Dengan kata lain pentingnya landasan
psikologi dalam kurikulum terutama, dalam (a) bagaimana kurikulum harus
disusun, (b) bagaimana kurikulum diberikan dalam bentuk pengajaran, dan (c)
bagaimana proses belajar siswa dalam mempelajari kurikulum.
Diantara
cabang-cabang psikologi yang paling penting diperhatikan bagi landasan
pengembangan kurikulum adalah psikologi perkembangan, dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menetapkan isi kurikulum yang
diberikan kepada siswa agar tingkat keluasan dan kedalaman bahan pelajaran
sesuai dengan taraf perkembangan anak. Adanya jenjang atau tingkat pendidikan
dalam sistem persekolahan merupakan satu bukti bahwa psikologi perkembangan
menjadi landsan dalam pendidikan, khususnya kurikulum. Para ahli psikologi
perkembangan mencoba membagi tahap-tahap perkembangan anak dari sudut yang
beragam. Salah satu di antaranya adalah piaget yang memiliki perkembangan anak
dari proses berfikir anak membaginya menjadi empat tahapan, yakni (a) tahap
sensomotorik 0.0-2.0, (b) tahap pre-operasional; 2.0-7.0, (c) tahap konkret
opersional;7.0-11.0 dan (d) tahap formal opersional;11.0-dewasa. Menurut piaget
bahan yang diberikan kepada siswa dan cara belajarmengajar siswa harus
disesuaikan dengan taraf perkembangan tersebut agar tidak menghambat proses
berfikir.
Apabila
psikologi perkembangan bermanfaat bagi penyusunan isi kurikulum agar sesuai
dengan taraf perkembangan anak, maka psikologi belajar memberikan sumbangan
terhadap kurikulum dalam hal bagaimana kurikulum itu diberikan kepada siswa dan
bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Ini berarti, sumbangan psikologi
belajar terhadap kurikulum berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum di sekolah,
yakni melalui strategi belajar mengajar.
Psikologi
belajar berkenaan dengan mengapa dan bagaimana proses perubahan tingkah laku
manusia itu terjadi. Hal ini diperlukan dalam pendidikan terutama bagi guru
dalam melaksanakan pengajaran, sebab proses belajar mengajar atau pengajaran
pada hakikatnya mengubah tingkah laku baru para siswa. Pada akhir abad ke 19
ada dua teori belajar yang paling menonjol, yakni aliran behavioristik dan
aliran kognitif. Menurut aliran behavioristik, manusia adalah organisme yang
pasif, sepenuhnya dipengaruhi oleh stimulus lingkungan. Tiga teori belajar yang
termasuk aliran ini adalah, (a) connectionisme (Thorndike), (b) clasical
conditioning (Pavlop) dan (c) operation conditioning (Skinner).
Pada prinsipnya, belajar menurut aliran behavioristik adalah mementingkan
peranan stimulus belajar kepada anak didik dengan harapan terjadinya respons
dari anak. Memperkuat hubungan antara stimulus dengan respons melalui berbagai
cara diupayakan oleh guru agar siswa memperoleh hasil belajar dalam bentuk
perubahan tingkah lakunya. Sedangkan aliran kognitif bertolak dari pandangan,
bahwa tingkah laku organisme itu sendiri dan lingkungan. Dengan kata lain
respons manusia merupakan fungsi dari stimulus dan organisme itu sendiri. Teori
belajar yang termasuk aliran ini antara lain teori gestalt, teori medan
kognitif, dan teori belajar humanistik.
Teori
Gestalt mengutamakan pentingnya keseluruhan dalam proses belajar sebingga
pemahaman merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai hasil belajar yang
bermakna. Oleh sebab itu proses belajar harus mengutamakan proses pemahaman
pada diri anak, bukan sekadar melatih hubungan stimulus-respons.
Teori
belajar penting diketahui dan dikuasai guru dalam rangka pelaksanaan
pengajaran. Guru harus memilih strategi belajar mengajar yang tepat untuk anak
didik/siswa agar hasil belajar yang dicapainya bisa optimal. Guru haus
mengetahui bagaimana cara siswa belajar agar ia dapat menyesuaikan diri dan
menetapkan metode mengajar yang sesuai dengan cara belajar siswa. Ini semua
memerlukan pemahaman mengenai hakikat belajar dan bagaimana individu belajar
yang menjadi kajian teori belajar.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
[1] Dr.H.Nana Sudjana, pembinaan dan pengembangan kurikulum di
sekolah, (Bandung: Sinar baru
algensindo, 2008), 8-9.
[3] Muhammad Zaini, MA,
Pengmbangan Kurikulum Konsep Implementasi Evaluasi dan Inovasi, Yogyakarta:
Teras. 2009. Hlm. 23.
[6] Prof. Dr.S.Nasution,M.A,
Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2012),15.
[8] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum,(Bandung:
PT Remaja Rosdakarya,2013), 51-52.
[10]Dr.H. Nana Sudjana, opcit, 14-16
Langganan:
Postingan (Atom)